Asala Usul Rawa Pening (Legenda)
Monday, 4 January 2016
Edit
Asal Usul Rawa Pening adalah sebuah Danau yang merupakan salah
satu Obyek Wisata Air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau ini tepatnya
berada di cekungan terendah antara Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Rawa
Pening memiliki ukuran sekitar 2.670 hektar yang menempati empat wilayah
Kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Menurut
cerita, Danau ini terbentuk akibat suatu peristiwa yang pernah terjadi di
daerah tersebut.
Berikut kisahnya dalam cerita Legenda Rawa
Pening.
Pada jaman dahulu kala, di lembah antara Gunung
Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal
sepasang suami istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang
dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat.
Sayangnya, mereka belum mempunyai seorang anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan
istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu
menyelesaikannya melalui musyawarah. Suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung
seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang menghampiri
dan duduk di sampingnya.
“Istriku, kenapa kamu
terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar. Nyai Selakanta masih saja terdiam. Ia
rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak menyadari keberadaan
sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya.
“Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut. “Istriku, apa yang sedang kamu
pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya. “Tidak memikirkan apa-apa, Kanda.
Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang pergi. Sekiranya di
rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup
ini tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin
sekali mempunyai anak. Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh
kasih sayang.”
Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela
nafas panjang.
“Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya
Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa
kepada-Nya,” ujar Ki Hajar. “Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil
meneteskan air mata. Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat
kesedihan istri yang amat dicintainya itu. “Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda
sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa untuk memohon kepada
Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar. Nyai Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya,
meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Hajar ke
lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati
semakin sepi.
Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan
Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya.
Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu
pada suaminya. Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian
muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya
benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun
melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah
seorang manusia, melainkan seekor naga.
Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini
diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata
“baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang
resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing”
berarti lonceng. Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat
berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun terheran-heran bercampur haru
melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa kecewa.
Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor
naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru
Klinthing ke Bukit Tugur.
Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih
dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung
Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru
Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.
Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh
menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya. “Bu, apakah aku
mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos. Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia
benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya.
Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing
mengetahui siapa ayahnya.
“Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi,
ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia
dan katakan padanya bahwa engkau adalah putranya,” kata Nyai Selakanta. “Tapi,
Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru
Klinthing dengan ragu. “Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru
Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.”
Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat
menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan
mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi.
Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik
ketenangan pertapa itu. “Hai, siapa itu?” tanya pertapa.
“Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya
mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting.
Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat
seekor naga yang dapat berbicara.
“Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara
seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran.
“Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing.
“Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?” “Iya, aku Ki
Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa
itu penasaran. Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud
di hadapan ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya.
Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya
memiliki anak berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru
Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin
sepenuhnya. “Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah
milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar
anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar. Baru Klinthing
segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal
kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo.
Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia
kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur.
“Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki
Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.” “Baik,” jawab
Baru Klinthing. Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini
sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika,
penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yaitu
pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar
berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan
sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah,
para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur.
Sudah hampir seharian mereka berburu, namun
belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa,
tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah
Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging
naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak
untuk dijadikan hidangan dalam pesta. Ketika para warga sedang asyik berpesta,
datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga
menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru
Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian
itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan.
Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya.
“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir
para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan
perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di
tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu.
Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar
sekali.” Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya.
Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat.
“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing,
“Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”
“Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat
angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,”
ungkap Nyi Latung. “Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru
Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung
kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”Baru Klinthing kembali ke pesta dengan
membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke
tanah. “Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang
kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.
Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai
hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi
tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya
tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu
persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.
Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu
mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun
menggentarkan seluruh isi desa.
Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar
dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga
terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri.
Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka.
Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal
dengan Rawa Pening. Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera
berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi
sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu,
Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
Sumber : http://betulcerita.blogspot.co.id
Demikianlah tulisan tentang Asala Usul Rawa Pening (Legenda), semoga bermanfaat untuk kita semua.
Jangan lupa Like Halaman Facebook
Infosekolah87.com untuk mendapatkan informasi terbaru tentang seputar
pendidikan di Indonesia