Alasan Mengapa Sebagian Guru Menolak Ikut Program Sertifikasi
Sunday, 31 January 2016
Edit
Alasan Mengapa Sebagian Guru Menolak Ikut Program Sertifikasi - adakah guru di tempat bapak atau ibu mengajar ada yang menolak untuk sertifikasi, kalau ada, itu sama dengan ditempat saya mengajar, memang prinsip hidup setiap orang berbeda-beda, untuk itu kita harus menghargai setiap prinsip hidup mereka. Ketika semua guru berlomba-lomba mengikuti proses sertifikasi, ternyata terdapat pula guru yang tidak mau disertifikasi. Ada sejumlah alasan mengapa mereka tidak mau mengikuti sertifikasi antara lain;
(a) mereka tinggal satu tahun lagi akan memasuki masa pensiun,
(b) sering sakit, dan
(c) mereka tidak terlalu memburu uang, dan
(d) mereka memang tidak mau dengan tanpa alasan.
Untuk mereka yang beralasan sudah dekat masa pensiun hal ini bisa ditolerir, demikian pula yang sakit-sakit juga masih bisa ditolerir. Tapi bagi mereka yang beralasan tidak terlalu memburu uang (menurut anggapan mereka sertifikasi sama dengan tunjangan profesi) dan mereka yang memang tidak mau, ini yang tidak bisa ditolerir.
Tulisan ini, diinspirasi oleh adanya beberapa guru yang sengaja menghadap kepada penulis, dan menyampaikan uneg-uneg dan menyatakan bahwa mereka tidak mau ikut proses sertifikasi. Mereka datang menghadap, karena adanya surat permintaan dari Dinas Pendidikan Kabupaten, yang meminta kepada semua guru agar segera memasukkan bahan untuk proses pemberkasan tahap akhir untuk kegiatan sertifikasi tahun 2014. Dalam surat tersebut ditegaskan pula bahwa bagi mereka yang tidak bersiap mengikuti proses sertifikasi di tahun 2014 ini, maka mereka diminta untuk membuat surat pernyataan tentang ketidaksiapan mengikuti proses sertifikasi dimaksud.
Kasus yang terjadi di Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat, setidaknya terdapat 7% guru yang menyatakan diri tidak bersiap mengikuti proses sertifikasi. Adapun alasan ketidaksiapan mereka adalah; a) menjelang pensiun 2 orang, b) sakit 4 orang, c) tidak memburu uang 1 orang dan d) tidak ada alasan 4 orang.
Baca Juga : Jenis Program Peningkatan Kompetensi Guru
Yang menarik dicermati adalah mereka yang beralasan tidak memburu uang. Guru bersangkutan menyatakan bahwa dirinya tidak perlu ikut sertifikasi, karena takut tidak bisa mempertanggungjawabkan perolehan tambahan pasca memilikiki sertifikat. Guru ini menganggap bahwa perolehan sertifkat guru identik dengan adanya tunjangan profesi. Alhasil kepadanya penulis bersama pengawas sekolah mencoba memberikan penjelasan bahwa kepemilikan sertifikat guru tidak secara otomatis akan mendapatkan tunjangan profesi, karena ada beberapa syarat bagi seorang guru bersertifikat untuk bisa mendapatkan tunjangan profesi, misalnya jumlah jam tatap muka harus cukup 24 jam. Disamping itu, ke depan semua guru harus memiliki sertifikat. Pendek kata kepada guru tersebut ditegaskan bahwa sertifikat guru tidak identik dengan tunjangan profesi, dan semua guru harus punya sertifikat. Kalau tidak memiliki sertifikat, yang bersangkutan akan dicabut statusnya sebagai guru. Penjelasan kami yang apa adanya ini tidak lantas menyurutkan niatnya untuk tidak mengikuti proses sertifikasi. Akhirnya, kami, penulis bersama pengawasnya, mengalah, dan meminta yang bersangkutan untuk membuat surat pernyataan tidak bersiap mengikuti proses sertifikasi.
Baca Juga : Akhirnya cair juga Inpassing Kemenag
Dengan guru yang lain, yang tidak memiliki alasan penolakan, penulis mencoba mengorek lebih jauh informasi tentang keengganan mereka, dengan mengundang secara pribadi kepada mereka untuk menghadap ke penulis. Kepadanya saya menggambarkan bahwa ke depan semua guru harus bersertifikat, kalau tidak akan dialihfungsikan alias diberhentikan jadi guru. Tidak tanggung-tanggung jawaban mereka, jangankan diberhentikan jadi guru pak, kalau bisa kami dipensiun dinikan saja, itu akan sangat kami terima dengan penuh rasa gembira.
Dalam beberapa kasus guru yang seperti ini, dalam seharinya-harinya cukup rajin datang ke sekolah, dan proaktif melakukan proses pembelajaran, bahkan dipandang cukup baik dalam mengemban tugasnya sebagai pendidik. Saat didesak untuk mengatakan sesungguhnya yang membuat tidak sikap mereka seperti itu, tidak lain adalah mereka sudah merasa cukup aman dalam posisi seperti sekarang ini. Jika nanti mereka ikut sertifikasi, mereka akan dituntut untuk bersikap profesional. Kata profesional ini yang beban di benak mereka. Jika jadi guru yang tersertifikasi, lalu mewujud menjadi guru yang profesional, maka tidak ada pilihan selain merubah segala-galanya. Merubah mental, sikap dan perilaku. Tidak ada pilihan, guru yang profesional haruslah mengikuti arus kemajuan zaman. Guru profesional haruslah melek teknologi, karena dengan melek teknologi, mereka bisa mengakses segala macam informasi, dan melalui itu mereka bisa mengupdate pengetahuan mereka. Inilah yang mereka khawatirkan. Mereka tidak siap dengan segala perubahan. Mereka tak hendak keluar dari zona aman. Mereka tidak siap dengan itu semua. Tatkala mereka dipaksa-paksa atau coba dibenturkan dengan aneka peraturan yang mengharuskan mereka untuk berubah maka, mereka pasti akan meminta: PENSIUN DINI SAJA.
Bahkan yang membuat penulis keok menghadapi argumentasi mereka, ternyata diam-diam mereka mengamati rekan-rekannya yang sudah sertifikasi dan telah mendapatkan tunjangan profesi, tapi kinerjanya tetap saja seperti sediakala. Tidak ada perubahan yang signifikan. “Pak, coba perhatikan, apakah mereka setelah sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi lalu kinerjanya makin meningkat? Apakah secara faktual proses sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi itu berbanding lurus dengan peningkatan kinerja pendidik?. Kan tidak pak. Jadi, izinkan aku pak untuk tidak perlu ikut-ikutan proses sertifikasi, kalau memang kami dipersyaratkan untuk membuat surat pernyataan tentang ketidaksiapan mengikuti proses sertifikasi, Insya kami akan buat. Terima kasih Pak, sambil salah satunya pamit dan melintas di hadapan penulis.
sumber : http://wacana.siap.web.id